Stigma sosial dalam konteks kesehatan memiliki kaitan negatif. Dalam situasi pandemi saat ini, stigma sosial berarti orang-orang diberi label, stereotipe, serta diperlakukan secara berbeda (diskriminasi), dan/atau mengalami kehilangan status karena dianggap memiliki keterkaitan dengan suatu penyakit. Stigma sosial ini pun kerap tidak hanya diberikan bagi mereka yang menderita penyakit, namun termasuk mereka yang memberikan perawatan atau pendamping. Bahkan mereka yang tidak mengidap penyakit, namun memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok ini juga tak jarang mengalami stigma. Sebagai contoh stigma sosial di lingkungan tempat tinggal dokter/perawat yang bertugas dalam penanggulangan COVID-19.
Stigma dan diskriminasi dapat menjadi kendala dalam upaya penanggulangan penyakit. Hal ini juga terjadi dalam upaya penanggulangan TBC. Stigma dalam upaya melawan TBC sendiri justru mengakibatkan pencarian perawatan, pelacakan kontak, penyelidikan wabah, memulai pengobatan, kepatuhan dan kualitas perawatan menjadi terhalang. Selain itu, stigma sosial juga dapat menurunkan status sosial, serta merampas hak orang dengan TBC (misalnya, dalam pekerjaan dan pendidikan).
Di sisi lain, wabah COVID-19 yang masih terjadi juga menambah deretan stigma sosial dan perilaku diskriminatif terhadap orang-orang yang terinfeksi maupun mereka yang diduga pernah berkontak dengan virus tersebut. Stigma membuat seseorang semakin terpuruk dengan menciptakan lebih banyak ketakutan atau kemarahan dibanding dengan fokus pada penyakit yang menyebabkannya. Hal ini yang kerap membuat orang yang terinfeksi cenderung memilih menyembunyikan gejala atau penyakit, dibanding segera mencari perawatan kesehatan. Ini berarti stigma dapat mempersulit pengendalian penyebaran wabah.
Apa Dampak Stigma pada Pasien TBC?
Stigma sosial memiliki sejumlah dampak negatif dan dapat merusak hubungan sosial individu. Hal ini kemudian mendorong terjadinya isolasi sosial yang justru lebih memungkinkan penyebaran virus/bakteri ketimbang upaya pencegahannya. Dikutip dari panduan mencegah dan mengatasi stigma sosial oleh WHO, berikut tiga dampak stigma sosial pada orang dengan penyakit menular:
- Mendorong orang untuk menyembunyikan penyakitnya untuk menghindari diskriminasi
- Mencegah orang segera mencari perawatan kesehatan
- Mencegah mereka mengadopsi perilaku sehat
Dalam beberapa kasus, stigma sosial juga dapat menyebabkan orang dengan TBC yang diusir dari rumah, komunitas, dan pekerjaan mereka, bahkan kehilangan rasa aman, sistem pendukung, dan sarana pendapatan. Stigma tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga mengikis komitmen petugas kesehatan untuk perawatan berkualitas tinggi. Oleh karena itu, pendekatan yang efektif harus melindungi hak setiap orang sebagai landasan perawatan yang berpusat pada pasien.
Bagaimana upaya mengatasi stigma?
Stigma sosial terbukti telah menghambat respon penanganan epidemi maupun pandemi. Dalam kondisi tersebut perlu dilakukan upaya membangun kepercayaan pada layanan dan sarana kesehatan yang terpercaya, mampu menunjukkan empati kepada mereka yang terkena dampak, memiliki pengetahuan yang memadai mengenai penyakit tersebut, serta mengambil langkah-langkah efektif untuk membantu menjaga diri mereka dan orang di sekeliling agar tetap aman.
Adapun kemampuan kita mengkomunikasikan informasi mengenai penyakit, baik TBC, COVID-19, ataupun HIV juga tidak kalah penting. Cara mengkomunikasikan juga dapat mendukung mereka yang terdampak untuk dapat melawan penyakit tersebut serta menghindari ketakutan dan stigma. Dalam panduan mencegah dan mengatasi stigma sosial yang dirilis WHO, dirumuskan tiga hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi stigma:
- Menggunakan kata-kata dan bahasa yang non-diskriminatif
Penggunaan kata dan Bahasa juga tidak jarang memicu sikap stigmatisasi, seperti contohnya kasus suspek, isolasi, dll. Penggunaan kata-kata yang kurang tepat tidak jarang dapat menguatkan stereotip atau asumsi negatif, memperkuat kaitan yang salah antara penyakit dan faktor lain, seperti menciptakan ketakutan, atau merendahkan martabat orang yang mengidap penyakit tersebut.
Penggunaan kata-kata atau bahasa yang kurang tepat justru dapat membuat orang menghindari untuk melakukan pemeriksaan, pengujian, dan karantina. Dalam panduan ini, direkomendasikan untuk menggunakan bahasa yang fokus pada subyek dan memberdayakan orang di semua kanal komunikasi, termasuk media. Kata-kata yang digunakan di media sangat penting, karena akan membentuk bahasa dan komunikasi umum tentang virus corona baru (COVID-19).
- Setiap orang memiliki peran untuk dapat menghapus stigmatisasi
Setiap orang memiliki peran yang sama dalam mencegah dan menghentikan stigma. Cara kita berkomunikasi melalui media sosial maupun platform lain harus hati-hati dan bijaksana dengan tidak fokus pada subyek namun lebih kepada informasi seputar penyakitnya.
Dilansir dari laman cdc.gov, berikut yang dapat dilakukan oleh tokoh masyarakat dan petugas kesehatan untuk dapat membantu mencegah stigma:
- Menjaga privasi dan kerahasiaan pasien yang mencari perawatan kesehatan dan yang mungkin menjadi bagian dari penyelidikan kontak apa pun.
- Mengkomunikasikan dengan cepat risiko, atau kurangnya risiko, dari kontak dengan produk, orang, dan tempat.
- Memperbaiki bahasa negatif yang dapat menimbulkan stigma dengan membagikan informasi akurat tentang bagaimana virus menyebar.
- Menentang perilaku dan pernyataan negatif, termasuk yang ada di media sosial.
- Memastikan bahwa gambar yang digunakan dalam komunikasi menunjukkan komunitas yang beragam dan tidak memperkuat stereotip.
- Menggunakan saluran media, termasuk media berita dan media sosial, untuk berbicara menentang stereotip kelompok orang yang mengalami stigma karena COVID-19.
- Menunjukkan apresiasi kepada petugas kesehatan, responden dan orang lain yang bekerja di garis depan.
- Menyarankan sumber daya virtual untuk kesehatan mental atau layanan dukungan sosial lainnya bagi orang yang pernah mengalami stigma atau diskriminasi.
- Komunikasi yang baik dan efektif
Dalam masa pandemi COVID-19 ini muncul istilah "Infodemi", yang artinya adalah informasi salah dan rumor yang menyebar lebih cepat daripada wabah virus corona baru (COVID-19) itu sendiri. Hal ini memberikan dampak negatif termasuk stigmatisasi dan diskriminasi terhadap orang yang terdampak. Sehingga perlu adanya solidaritas dan distribusi informasi yang jelas untuk mendukung masyarakat yang terkena dampak wabah tersebut. Hal ini tidak hanya untuk penanggulangann COVID-19, namun juga berlaku untuk penyakit menular lainnya seperti HIV dan tuberkulosis.
Stigma dapat berdampak negatif pada kesehatan emosional, mental, dan fisik kelompok yang terstigma dan komunitas tempat mereka tinggal. Orang yang terstigma mungkin mengalami isolasi, depresi, kecemasan, atau rasa malu di depan umum. Menghentikan stigma penting untuk membuat semua komunitas dan anggota komunitas lebih aman dan sehat. Setiap orang dapat membantu menghentikan stigma terkait COVID-19 dengan mengetahui fakta dan membagikannya kepada orang lain di komunitas mereka.
Sumber:
- Panduan Untuk Mencegah dan Mengatasi Stigma Sosial. 2020. WHO accessed via https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/covid19-stigma-guide.pdf
- https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/daily-life-coping/reducing-stigma.html
Editor: Melya, Melinda Soemarno
Gambar: Amadeus Rembrandt