Tuberkulosis (TBC) terus menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat, dan menjadi salah satu penyebab utama tingkat kesakitan dan kematian. Meskipun dalam penanggulanganya, upaya diagnosis dan terapi telah dilakukan, namun berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), dalam Laporan TB Global 2020, kematian akibat TBC tahun 2019 di seluruh dunia mencapai 7,1 juta.

Menurut WHO, kesehatan didefinisikan sebagai keadaan fisik yang baik termasuk juga di dalamnya aspek mental dan aspek sosial lainnya. Meskipun demikian, pada kenyataannya dampak dari suatu penyakit, terutama penyakit kronis seperti TBC, seringkali tidak hanya mempengaruhi aspek kesehatan fisik, tetapi juga kesejahteraan psikologis, ekonomi, dan sosialnya. Bertepatan dengan bulan Mei yang juga dikenal sebagai bulan kesadaran mental (Mental Health Awareness Month), menjadi momen yang bertujuan untuk memerangi stigma, memberikan dukungan, mendidik masyarakat, dan mengadvokasi kebijakan yang mendukung orang dengan penyakit mental dan keluarga mereka.

Dalam jurnal yang berjudul Quality of life with tuberculosis, disebutkan bahwa upaya pengendalian TBC diarahkan untuk mengoptimalkan proses penyembuhan dan mendorong keberhasilan pengobatan pasien. Namun berdasarkan definisi WHO tersebut, hal ini tidaklah cukup. Penanganan baik dari sisi mental (psikologis, dan sosial pasien akibat TBC juga sangat penting.

Jurnal ini juga menyebutkan 10 faktor penting yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien TBC, yaitu:

  1. Gangguan emosional/psikologis

Berbagai macam reaksi psikologis diamati begitu diagnosis TBC ditegakkan. Kecemasan adalah perasaan umum setelah diagnosis ditegakkan. Hasil diagnosis dapat mengejutkan pasien, misalnya; reaksi penolakan (denial). Perasaan umum lainnya saat didiagnosis adalah ketakutan akan pengasingan dan stigma, bahkan risiko kematian. Secara khusus, rawat inap dan isolasi pasien (praktik umum di beberapa negara dengan beban TBC rendah) juga dapat memberikan dampak emosional dan psikologis yang signifikan.

  1. Masalah keuangan selama diagnosis dan pengobatan

Penderita TBC paling sering berada pada kelompok usia ekonomi produktif. Seringkali beban ekonomi yang diakibatkan sakit TBC berdampak pada pasien dan keluarga. Secara langsung terhadap kebutuhan pengobatan maupun secara tidak langsung akibat kehilangan upah penghasilan.

  1. Keberhasilan atau kegagalan terapi OAT

Efek samping OAT juga dapat berupa gangguan psikologis pada pasien TBC.  Hal ini disebabkan pengobatan TBC yang membutuhkan waktu lama yang banyak menimbulkan efek samping psikologis mulai dari yang ringan sampai berat. Efek samping psikologis ini tentunya dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pengobatan OAT.

  1. Efek samping OAT

Pengobatan TBC memiliki sejumlah efek samping. Hal ini dapat membuat pasien yang tengah menjalani pengobatan menjadi depresi. Efek samping seperti halusinasi dan kehilangan harapan hidup kerap dirasakan pasien TBC.

  1. Kerusakan sisa (residual) paska pengobatan

Paska pengobatan OAT, ada risiko yang muncul di mana kualitas hidup pasien terdampak, salah satunya adanya adanya kerusakan organ yang berdampak pada kondisi pasien dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya perawatan yang memadai untuk dapat memperbaiki/mengatasi kondisi psikologis tersebut.

  1. Penyakit penyerta, termasuk koinfeksi HIV

Dalam jurnal ini disebutkan hampir 9% pasien TBC memiliki koinfeksi HIV. Dari studi kasus pasien TBC yang terinfeksi HIV yang dirawat di Thailand, digambarkan di mana persoalan fisik akan berkurang setelah dilakukan pengobatan, namun berbeda dengan kesehatan mental yang tidak berubah atau cenderung memburuk pada dua pertiga pasien selama/paska pengobatan.

  1. Status sosial dan ekonomi

TBC juga kerap dikaitkan dengan status sosial serta ekonomi rendah dan  mitos tentang TBC.

  1. Usia, jenis kelamin, dan faktor demografis lainnya

Kualitas hidup pasien TBC akan lebih buruk dibandingkan dengan orang sehat, meski demikian kondisi pasien TBC dapat diperburuk oleh aspek sosial lain seperti usia, jenis kelamin, hingga faktor demografis. Kondisi usia yang lebih tua, pendidikan formal yang lebih rendah, dan kemiskinan dikaitkan secara independen dengan tekanan psikologis.

  1. Gejala dan keterbatasan fungsi akibat penyakit penyerta

Beberapa penderita TBC memiliki penyakit penyerta lain yang dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka, seperti diabetes yang kerap terjadi pada pasien TBC.

  1. Stigma dan isolasi setelah hasil diagnosis tuberkulosis

Salah satu aspek penting yang mempengaruhi kualitas hidup bagi pasien TBC adalah stigma, baik di tingkat keluarga maupun masyarakat. TBC paling sering distigmatisasi karena adanya risiko penularan dari pasien ke orang lain di sekitar.

Pentingnya pemeliharaan kesehatan mental pada pasien TBC, maka ada beberapa hal yang penting untuk dilakukan, agar kualitas hidup pasien TBC dapat kembali pulih. Pertama perlu meningkatkan kesadaran dan membangun kesadaran masayarakat terkait persoalan TBC. Masyarakat perlu memahami akar persoalan tentang TBC dan perlu memiliki pengetahuan tentang TBC yang memadai. Kedua, perlu dibangun komunikasi yang baik, terutama pada saat diagnosis dan memulai pengobatan, serta perlunya konseling sebagai bagian integral dari manajemen TBC.

Selanjutnya, perlunya upaya mengurangi stigma TBC. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengadakan program edukasi dan dukungan bagi penyedia layanan kesehatan, pasien TBC, dan anggota komunitas berisiko. Upaya penting lainnya untuk memerangi stigma adalah dengan advokasi, komunikasi, mobilisasi sosial, dan pemberdayaan kelompok marjinal. Terakhir, perlu adanya peran potensial yang relevan dalam memberikan intervensi dukungan psikososial bagi pasien TBC, terutama selama bulan-bulan awal pengobatan agar mereka dapat kembali ke masyarakat secepat mungkin.

 

Sumber:
Aggarwal AN. Quality of life with tuberculosis. J Clin Tuberc Other Mycobact Dis 2019;17:100121. accessed in https://doi.org/10.1016/j.jctube.2019.100121

Editor: Melya, Alva Juan
Gambar: Amadeus Rembrandt