Seringkali ketika ada teman yang batuk-batuk, tak jarang ada yang melontarkan candaan "TBC ya!". Respon ini mungkin terdengar sepele apabila dalam konteks bercanda, namun apabila hal ini ditujukan bagi seseorang yang terinfeksi TBC, tentunya akan membuat orang tersebut merasa minder dan malu. Maka tak jarang banyak penderita memilih untuk menutup diri agar tidak dikucilkan oleh lingkungannya.
Penyakit TBC kerap dialami oleh mereka yang tinggal di lingkungan padat yang seringkali terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Sehingga sering muncul anggapan bahwa TBC adalah penyakit orang dengan tingkat sosialekonomi rendah. Apakah benar demikian? Dikutip dari laman kompas.com, Kepala Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Bandung, drg. Maya Marinda Montain MKes, mengatakan banyak masyarakat tidak menyadari bahwa penyakit TBC bukan hanya penyakit untuk orang kelas sosial rendah. Namun juga dapat terjadi pada orang dengan sosial ekonomi menengah ke atas. Sebab, kuman Mycobacterium tuberculosis dapat tumbuh dengan baik di tempat lembab dan tanpa terpapar sinar matahari.
Maka lebih tepat dikatakan bahwa kemiskinan dapat menjadi salah satu faktor yang mempermudah penularan penyakit TBC. Sebab, kemiskinan menjadi hambatan bagi seseorang untuk bisa membangun rumah yang sehat, yaitu dengan sanitasi air bersih yang cukup dan ventilasi serta pencahayaan yang memadai. Meski demikian, tidak mudah mengubah stigma dan diskriminasi terhadap pasien TBC karena pemahaman masyarakat mengenai penyakit ini yang juga masih terbilang minim.
Secara spesifik, stigma terbagi menjadi stigma eksternal dan stigma internal atau biasa dikenal dengan istilah stigma diri. Pasien TBC yang memiliki stigma diri cenderung memiliki pikiran dan perasaan takut akan dihakimi oleh orang lain serta rasa malu dan bersalah terhadap diri sendiri. Bila tidak diatasi, stigma diri dapat menyebabkan terisolasi dari lingkungan sosial, ketidakpatuhan pasien untuk berobat, hingga tak jarang putus menjalani pengobatan.
Perlu dipahami bahwa TBC dapat disembuhkan melalui pengobatan rutin hingga tuntas. Hanya saja, stigma dan diskriminasi pada pasien TBC dapat menjadi hambatan bagi mereka untuk menjalani pengobatan. Maka, menjadi peran kita untuk mendukung mereka yang terinfeksi, untuk dapat menjalani pengobatan hingga selesai tanpa ada stigma dan diskriminasi.
Sumber:
Laporan Tahunan Yayasan KNCV Indonesia. 2018. Stigma Tuberkulosis: Manajemen Stigma Diri dan Rasa Malu Terkait Tuberkulosis; hal 32-33. Jakarta: Yayasan KNCV Indonesia
Editor: Melya Findi dan Melinda Soemarno
Gambar: Amadeus Rembrandt