Tuberkulosis cenderung banyak ditemukan di negara berkembang. Jarang kita temukan penyakit ini di negara-negara maju. Menurut badan kesehatan dunia (WHO), terdapat 9 juta kasus baru dari diagnosis tuberkulosis setiap tahunnya, 55% diantaranya terjadi di Asia dan 31% di Afrika. Hal ini menjadi bukti kondisi ekonomi dan populasi berpengaruh dalam peningkatan kejadian tuberkulosis di suatu daerah.
Dalam paper yang ditulis oleh Charles W. Schmidt yang berjudul Linking TB and the Environment: An Overlooked Mitigation Strategy dikatakan bahwa secara historis, tuberkulosis adalah penyakit yang kerap terjadi di lingkungan padat dengan kondisi ekonomi tergolong miskin. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tuberkulosis kerap dikaitkan dengan faktor resiko lingkungan seperti polusi udara, asap rokok, kepadatan, serta aspek sosial seperti malnutrisi, dan konsumsi alkohol berlebih.
Merokok mungkin tidak menyebabkan orang secara otomatis terinfeksi tuberkulosis, namun merokok dapat memicu lebih banyak kasus TBC berdasarkan populasinya yang lebih besar. Selain itu pengaruh kemiskinan dan urbanisasi mampu menciptakan kondisi dimana penularan tuberkulosis dapat dengan mudah terjadi.
Strategi pengendalian TBC yang diadopsi WHO saat ini adalah melalui upaya pengobatan, vaksinasi pencegahan serta pemberian layanan kesehatan. Ternyata hal ini belum dapat menurunkan beban tuberkulosis di wilayah kawasan dengan kasus TBC tinggi seperti Asia dan Afrika. Eva Rehfuess, seorang ilmuwan di Departemen Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan mengatakan bahwa pengobatan sangatlah penting, namun perlu juga memperhitungkan faktor risiko dalam pengendalian tuberkulosi, yaitu melalui intervensi aspek sosial dan lingkungan.
Aspek sosial dan lingkungan merupakan ranah intervensi sektor lainnya yang seringkali tidak dilibatkan dalam program kesehatan. Padahal menilik tingginya kejadian tuberkulosis, kedua hal ini juga sangat berpengaruh terutama terkait dengan isu perumahan, energi, serta juga pendidikan. Majid Ezzati, professor kesehatan global dan kesehatan lingkungan dari Harvard School of Public Health memberikan pernyataan melalui laporan yang diterbitkan The Lancet secara online tanggal 3 Oktober 2008, dimana ia memperkirakan kejadian tuberkulosis di Cina akan menurun hingga 14-52 % pada tahun 2033 apabila tidak ada lagi orang yang merokok serta kompor tradisional yang digunakan didalam rumah sudah tidak digunakan kembali.
Strategi dalam mengurangi kejadian tuberkulosis, tidak hanya dari segi pengobatan melalui obat anti TBC (OAT) ataupun vaksinasi untuk pencegahan, namun juga mengurangi paparan terhadap berbagai faktor resiko baik sosial serta lingkungan. Kerja sama dengan berbagai sektor tentunya menjadi hal penting untuk dapat mengurangi kejadian peningkatan tuberkulosis
Sumber:
Schmidt, Charles W. Linking TB and the Environment: An Overlooked Mitigation Strategy. Environmental Health Perspective Publication. 2008.
Editor: Melya Findi dan Aditiya Bagus
Gambar: Amadeus Rembrandt