Satu dari 10 orang yang terkena bakteri Tuberkulosis (TBC) akan mengalami sakit TBC. Untuk mencegah seseorang terjangkit penyakit TBC, selama ini Isoniazid, salah satu obat anti Tuberkulosis, hadir sebagai obat standar pencegahan dengan turut mengobati infeksi TBC laten. TBC laten ialah kondisi di mana seseorang telah terinfeksi kuman TBC, tetapi kuman TBC berada dalam kondisi "tidur", dikarenakan kekebalan tubuh individu yang baik. Meskipun isoniazid terjangkau dan mudah diperoleh, obat ini memiliki efek samping merusak organ hati (liver). Tidak hanya itu, isoniazid harus dikonsumsi setiap hari selama 6-36 bulan untuk dapat bekerja efektif. Tak ayal, durasi penggunaanya yang sangat lama ini membuat banyak orang gagal menyelesaikan pengobatannya.

Paduan obat Isoniazid (H) dan Rifapentine (P) kini hadir sebagai kombinasi baru yang direkomendasikan WHO untuk pengobatan pencegahan TBC. Obat HP ini dikonsumsi satu minggu sekali selama 3 bulan (yang berikutnya disebut 3HP). Setelah dilakukan penelitian pada lebih dari 8000 pasien di berbagai negara, penggunaan 3HP sebagai paduan obat pencegahan TBC terbukti efektif. Dalam waktu dekat, WHO juga akan mengeluarkan rekomendasi penggunaan 1HP, yaitu perpaduan rifapentin dan isoniazid yang dikonsumsi setiap hari selama satu bulan. Durasi konsumsi obat yang lebih singkat dan sederhana ini menjadi sebuah harapan baru untuk pencegahan TBC yang lebih baik.

Mirisnya, rifapentine belum dapat dikonsumsi secara luas dikarenakan biayanya yang terlampau tinggi. Harga 3HP ini setara dengan $71 atau Rp 996.868,40 (kurs rupiah 30 Oktober 2019). Tidak terjangkaunya harga rifapentine, membuat berbagai pemangku kepentingan kesehatan global melakukan negosiasi intens dengan Sanofi, sebagai produsen dari rifapentine. Setelah melalui proses advokasi selama satu tahun, saat ini rifapentine dijajakan seharga $15 setara dengan Rp 210.484,50.

Diperkirakan jutaan kematian dapat dihindari dengan digunakannya paduan obat rifapentine dan isoniazid ini sebagai pencegahan TBC, terutama pada populasi kunci, yaitu anak dan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Akan tetapi, obat ini belum terbukti aman digunakan pada anak berusia di bawah 2 tahun. Hingga kini, penggunaan obat rifapentine di Indonesia masih mengalami beberapa kendala, sehingga belum mulai digunakan di Indonesia. (DW/YPMR)

Referensi: