Tak banyak yang bisa dilakukan Purwa Komaeny (39) dalam kesehariannya mendampingi pasien TB MDR bersama perkumpulan REKAT Surabaya. REKAT adalah sebuah organisasi mantan pasien yang menjadi pendamping dan pendidik sebaya bagi pasien TB MDR di Surabaya. Pendampingan rutin yang dilakukan secara fisik harus terhenti karena upaya pemerintah dalam penanggulangan COVID-19. Pria yang akrab di panggil Purwo ini mengatakan bahwa meski demikian kami tetap rutin mendampingi pasien dengan melakukan komunikasi rutin melalui grup whatsapp maupun SMS dan telepon.
“Meski kadang yang menjadi tantangan adalah pasien dampingan kami ada yang tidak memiliki alat bantu komunikasi smartphone, sehingga sulit untuk memantau dan memastikan mereka benar-benar minum obat,”ujar Purwo yang juga pendiri REKAT Surabaya.
Saat ini REKAT mendampingi sekitar 30 pasien TB MDR dengan 10 pendamping aktif. Yang dapat mereka lakukan saat ini adalah tetap memaksimalkan pendampingan sesuai protokol kesehatan dari pemerintah, serta memaksimalkan sarana yang ada. Dari kebijakan pemerintah, proses pengambilan obat yang biasa dilakukan setiap hari di depan petugas, kini dibuat menjadi seminggu sekali. Hal ini untuk meminimalisir kunjungan pasien ke layanan kesehatan.
Memang tidak bisa dipungkiri layanan kesehatan saat ini tengah fokus pada penanggulangan COVID-19. Sehingga upaya investigasi kontak pun turut terhambat, ditambah layanan rumah sakit juga membatasi kunjungan. Hal ini tentu menjadi boomerang bagi kasus TBC, dimana temuan kasus justru cenderung menurun.
”Memang situasi saat ini sulit untuk dihadapi, tapi yang membuat kami tetap semangat adalah juga semangat dari para pasien TB MDR yang semangat untuk sembuh,”ujar Purwo menceritakan salah satu pengalamannya mendampingi.
Ada salah satu dampingan Purwa adalah seorang ibu yang sejak awal didampingi kondisinya lemah, hanya bisa berbaring di tempat tidur, dengan badan yang kurus dan bahkan tidak bisa berjalan. Ia hanya tinggal bertiga dengan suami dan anaknya. Bulan April lalu suami yang biasa merawatnya harus berbaring karena stroke, sementara anaknya yang menjadi tulang punggung keluarga harus bekerja setiap harinya. Kondisi ini sangat sulit melihat situasi pandemi ini. Di satu sisi ia harus berjuang untuk sembuh dari TB MDR, di sisi lain ia juga harus merawat suaminya.
”Karena semangat si ibu untuk sembuh ini, kini ia sudah bisa berjalan, bahkan bisa melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, dan membersihkan rumah,”terang Purwa.
Kondisi-kondisi khusus seperti ibu ini biasanya akan membutuhkan pengecualian untuk didampingi secara khusus. Sehingga tidak semua pasien TB MDR didampingi melalui media komunikasi, namun ada beberapa kasus yang karena keterbatasan kondisi membuat REKAT harus mendampingi secara langsung dengan tatap muka.
Pandemi ini membuat Purwa berharap penanganan yang dilakukan untuk penanggulangan COVID-19 dapat juga diterapkan pada pasien TBC. Sebagai contoh, pasien COVID-19 yang dalam pemberitaan mangkir menjalani perawatan akan mendapat pengawasan ekstra karena adanya ketakutan menularkan pada sekeilingnya. Hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan TBC. Hingga kini juga masih banyak ditemukan pasien yang mangkir pengobatan hingga akhirnya tidak diobati hingga tuntas. Hal ini yang kemudian menjadi persoalan TBC sulit diberantas karena potensi penularan yang juga kerap terjadi.
”Semoga dari pandemi ini kita juga bisa belajar bagaimana menghadapi TBC agar target eliminasi ini nantinya tetap dapat tercapai, tidak hanya pengobatan saja tapi edukasi dan juga mekanisme karantina untuk pasien yang mangkir,” harap Purwo.
Teks: Melya Findi
Editor: Erman Varella
Gambar: Amadeus Rembrandt