Sejak ditetapkan sebagai pandemi oleh badan Kesehatan dunia (WHO), seluruh dunia mengalihkan perhatian untuk menanggulangi merebaknya virus ini. Di Indonesia jumlah pasien positif COVID-19 per 5 Mei 2020 adalah 12,071 kasus. Meski demikian, penyediaan layanan dan sistem operasional untuk masalah kesehatan lain, terutama TBC harus tetap berjalan. Kementerian Kesehatan RI menyusun protokol terkait tatalaksana layanan TBC selama masa pandemi COVID-19 bagi fasilitas layanan kesehatan. Protokol ini memuat sejumlah panduan terkait dengan tindakan pencegahan, manajemen dan perencanaan, sumber daya manusia, perawatan dan pengobatan, serta layanan laboratorium.
Penderita COVID-19 dan TBC memiliki gejala yang hampir sama, yaitu batuk, demam, dan kesulitan bernapas. Keduanya juga sama-sama ditularkan melalui kontak erat dan utamanya menyerang paru-paru. COVID-19 merupakan penyakit baru yang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, maka perlu dilakukan langkah pencegahan bagi pasien TBC agar terlindungi dari paparan COVID-19. Dalam upaya pencegahan, pasien TBC diawajibkan untuk menggunakan masker pada saat melakukan kontrol pengobatan maupun melakukan aktivitas di luar rumah. Meski demikian, disarankan bagi pasien TBC untuk membatasi aktivitas di luar rumah. Di fasilitas kesehatan sendiri, juga perlu menghindarkan atau meminimalisir proses antrian bagi pelayanan TBC.
Protokol ini juga memuat perihal perencanaan dan pemantauan ketersediaan logistik untuk memastikan pengadaan dan penyediaan obat-obatan TBC dan sarana diagnostik. Kemenkes memantau rantai distribusi obat-obatan di tingkat nasional, sementara Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota memastikan stok obat mencukupi untuk kebutuhan di tingkat layanan primer dan rujukan dengan perubahan/penyesuaian jadwal pengobatan pasien. Aktivitas pelayanan yang bersifat pengumpulan massa dan pelibatan komunitas dalam jumlah yang banyak, seperti investigasi kontak dan pelacakan kasus, perlu ditunda untuk sementara waktu. Aktivitas ini dapat diganti dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk menghindari adanya interaksi sosial yang melibatkan massa.
Tatalaksana berikutnya berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya, yaitu Dokter Spesialis, Dokter yang sudah terlatih tentang TBC serta petugas kesehatan lain yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun sekunder untuk dapat diperbantukan dalam memberikan tatalaksana bagi pasien komplikasi paru akibat COVID-19. Meski demikian, mereka tetap harus mengikuti Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan dan rekomendasi terbaru WHO tentang pengobatan pendukung dan upaya mengurangi penyebaran COVID-19. Hal ini bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19 sebagaimana terjadi pada sebagian besar penyakit TBC.
Layanan TBC rawat jalan pada pasien dan perawatan berbasis masyarakat harus menjadi pilihan utama dalam tatalaksana TBC pada masa tanggap darurat akibat Pandemi COVID-19 dibandingkan dengan perawatan di Rumah Sakit. Hanya saja ada pengecualian apabila pasien mengalami permasalahan serius sehingga memerlukan rawat inap. Hal ini dilakukan untuk mengurangi potensi penularan COVID-19 kepada pasien TBC dan sebaliknya. Pemberian pengobatan anti-TB (OAT) sesuai standar dan pemantauan pengobatan harus dipastikan terselenggara untuk semua pasien TBC, termasuk mereka yang termasuk ODP, PDP dan pasien terkonfirmasi COVID-19. Pasien TBC dapat diberikan sejumlah OAT untuk periode tertentu sehingga stok OAT yang memadai harus disediakan. Pengobatan TBC harus tetap berjalan tanpa pasien harus terlalu sering mengunjungi fasyankes untuk mengambil OAT. Sehingga stok obat untuk mengatasi efek samping pengobatan juga harus dijamin ketersediaannya.
Bagaimana jika dalam pemeriksaan ODP dan PDP COVID-19 ditegakkan juga menjadi pasien TBC baru? Perawatan PDP dapat dilakukan di RS dalam tatalaksana PDP, sementara ODP dapat menjalani isolasi mandiri selama 14 hari sambil menunggu hasil swab COVID-19. Dan untuk pasien TBC yang menjadi PDP maka terapi dilanjutkan di RS tempat PDP dirawat.
Protokol ini juga memuat pedoman tentang aktivitas pengambilan dan pemeriksaan dahak sesuai SOP yang berlaku bagi layanan laboratorium. Semua pemeriksaan TBC seperti mikroskopis BTA (Basil Tahan Asam), TCM (Tes Cepat Molekuler), LPA (Line Probe Assay), biakan dan uji kepekaan TBC dilakukan di laboratorium yang sesuai dan memenuhi persyaratan tingkat keamanan dan keselamatan untuk masing-masing jenis pemeriksaan TBC, termasuk penggunaan APD yang memadai. Sementara itu, pengiriman dahak harus tetap diselenggarakan sesuai dengan sistem yang berlaku. Namun apabila ada kendala dengan sistem tersebut, maka perlu melakukan perubahan dan penyesuaian dengan melihat kondisi dan sumber daya yang ada.
Protokol ini juga perlu didukung dengan fasilitas sarana komunikasi yang terbuka bagi masyarakat. Pengelola program TBC di tingkat Kabupaten/Kota perlu membuat hotline pelayanan TBC untuk mengantisipasi masyarakat yang memerlukan informasi lebih lanjut tentang kelanjutan pengobatannya. Protokol ini merupakan upaya mengantisipasi putusnya pengobatan pasien TBC di tengah pandemi saat ini, sehingga merebaknya COVID-19 tidak menjadi hambatan untuk menuju eliminasi TBC 2030.
Sumber:
Kementerian Kesehatan RI, 2020. Protokol Tata Laksana Pasien TB Dalam Masa Pandemi COVID 19. Jakarta
Editor: Melya Findi dan Melinda Soemarno
Gambar: Amadeus Rembrandt