Penyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular kronis yang membutuhkan durasi pengobatan yang lama, biasanya seseorang yang terinfeksi TBC dan harus minum obat perlu menjalani durasi pengobatan 6 hingga 9 bulan. Durasi pengobatan yang lama ini menjadikan banyak kasus putus obat karena pasien berhenti di tengah jalan. Alasan berhenti minum obat ini sangat beragam, mulai dari pasien merasa sudah sehat sehingga tidak perlu minum obat sampai alasan yang begitu sepele seperti kebosanan. Durasi pengobatan yang lama ini juga mengaruskan pasien untuk kontrol rutin tiap bulannya demi mendapatkan obat, dan tidak semua kalangan masyarakat memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang mudah.

Saat ini telah direkomendasikan paduan pengobatan TBC sensitif obat baru yang lebih pendek durasinya dari paduan pengobatan 6 bulan. Paduan pengobatan standar 6 bulan yang biasanya digunakan pada pasien TBC saat ini merupakan kombinasi dari isoniazid, rifampisine, pirazinamid, dan etambutol atau yang disingkat 2HRZE/4HR. Durasi 6 bulan ini merupakan fase pengobatan yang dibagi menjadi: 2 bulan fase intensif dan 4 bulan fase lanjutan. Fase intensif adalah fase di mana kuman TBC secara ekstensif dibunuh, seseorang yang telah menjalani 2 bulan fase intensif tidak akan menularkan lagi kumannya ke orang lain. Sedangkan fase lanjutan adalah fase di mana sisa-sisa kuman TBC termasuk kuman yang bersifat dorman dibersihkan hingga tuntas. Untuk paduan pengobatan 4 bulan yang baru saati ini menggunakan kombinasi isoniazid, rifapentin, moksifloksasin, dan pirazinamid atau yang disingkat 2HPMZ/2HPM di mana fase intensif dan lanjutan masing-masing berdurasi 2 bulan. Paduan baru ini dapat diberikan pada kriteria pasien berusia minimal 12 tahun ke atas dengan bukti TBC paru yang masih sensitif obat [1].


Tuberculosis Trials Consortium (TBTC) dan AIDS Clinical Trials Group (ACTG) melalui uji klinis fase tiga Studi 31/A5349 melaporkan pasien yang menerima 2HPMZ/2HPM selama 4 bulan memiliki keberhasilan yang hampir sama jika dibandingkan dengan pasien yang menerima pengobatan TBC selama 6 bulan–efikasi utama yang dijadikan patokan dalam ukuran ini adalah durasi pasien untuk tetap bebas TBC pada bulan ke-12 setelah dilakukannya randomisasi.2 Namun sayangnya bagi pasien dengan kondisi sistem kekebalan tubuh yang menurun, seperti orang dengan HIV (ODHIV) atau pasien diabetes, temuan keberhasilan dari paduan 4 bulan yang lebih pendek ini masih perlu dilakukan penelitian lebih jauh.

Memendeknya durasi pengobatan TBC dari enam ke empat bulan adalah angin segar dalam usaha penanggulangan penyakit TBC. Dengan durasi yang lebih pendek, pasien dapat lebih cepat menyelesaikan pengobatan hingga tuntas dan diharapkan kejadian putus obat selama pengobatan TBC semakin sedikit. Hal ini tentunya juga mengurangi resiko bertambahnya angka baru terkait kejadian kuman TBC yang resistan/kebal obat di masa depan.


Referensi:

[1] WHO consolidated guidelines on tuberculosis. Module 4: treatment – drug-susceptible tuberculosis treatment. Geneva: World Health Organization; 2022. License: CC BY-NC-SA 3.0 IGO

[2] Four-month rifapentine paduans with or without moxifloxacin for tuberculosis. Susan E. Dorman, Payam Nahid et al. New England Journal of Medicine, 384, 18; 2021. DOI: 10.1056/NEJMoa2033400