Tenaga kerja adalah aset berharga dalam sebuah perusahaan. Perannya sangat vital bagi kelancaran proses produksi dan keseinambungan perusahaan, sekaligus sebagai aktor penting dalam pembangunan nasional. Maka kualitas kesehatan adalah bagian penting dari jaminan kesejahteraan bagi pekerja.

Tenaga kerja kerap dihadapkan dengan berbagai potensi bahaya, baik yang berisiko terhadap keselamatan kerja maupun kesehatannya sehingga memicu penyakit akibat kerja/PAK (occupational diseases). Di sisi lain, pekerja sebagai bagian dari masyarakat, tentunya juga memiliki risiko penyakit umum. Salah satunya adalah penyakit infeksi yang masih menjadi masalah nasional di Indonesia yakni Tuberkulosis (TBC).

TBC merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian penting dunia, termasuk di Indonesia. Dampak penyakit ini mempengaruhi dunia kerja, karena penyakit ini mudah menular di tengah  masyarakat. Angka kesakitan dan angka kematian masih tinggi dan terlebih lagi sebagian besar penderita TBC adalah usia produktif. Melihat pentingnya penanggulangan TBC di tempat kerja, serta mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Kementerian Ketenagakerjaan mengambil kebijakan dan berkomitmen dalam Pengendalian TBC di tempat kerja, sebagai bagian dari program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).  

Dalam panduan ini terdapat enam  hal yang menjadi program pengendalian TBC di tempat kerja. Antara lain tatalaksana dengan pendekatan TemPO, yaitu temukan pasien secepatnya, pisahkan secara aman dan obati secara tepat. Selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan hubungan pekerjaan dan kelaikan kerja. Kedua diagnosis TBC untuk menetapkan seseorang sebagai pasien TBC sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis melalui pemeriksaan laboratorium. Di tempat kerja penegakan diagnosis dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah dilatih DOTS, baik di klinik milik perusahaan maupun klinik eksternal yang sudah melaksanakan program DOTS (Direct Observed Treatment Short Course).

Ketiga, pengobatan pasien TBC sebagai salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TBC. Pengendalian TBC di tempat kerja dilaksanakan dengan pendekatan empat pilar yaitu dukungan manajemen yang efektif berupa komitmen untuk pencegahan TBC, dukungan administratif dalam memberikan edukasi dan layanan TBC, menciptakan lingkungan kerja yang baik dengan sarana ventilasi yang sesuai standar, serta dukungan alat pelindung diri.

Berikutnya adalah penentuan status laik kerja, dan program kembali kerja. Perlu penilaian secara medis untuk menentukan apakah seseorang dapat melakukan pekerjaannya secara efektif, tanpa membahayakan dirinya sendiri atau lingkungannya. Dalam panduan ini pekerja dengan TBC aktif disarankan untuk diberikan cuti selama 2 minggu pada tahap awal pengobatan agar pekerja tidak lagi menjadi sumber penularan. Umumnya pasien tidak lagi menular setelah dua minggu pengobatan, namun perlu dilakukan pemeriksaan BTA sputum kembali untuk  menilai efektifitas pengobatan yang menjamin penularan baru tidak terjadi di lingkungan kerja.

Panduan ini tentunya perlu dukungan dan kerjasama dengan semua pihak terkait, termasuk juga sektor swasta sebagai pemiliki aset tenaga kerja. Panduan pengendalian TBC dengan strategi DOTS ini diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan TB di tempat kerja. Dengan tenaga kerja yang sehat dan lingkungan yang baik tentunya dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi risiko putus kerja akibat penyakit yang berdampak pada masalah sosial.

 

Sumber:
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Ketenagakerjaan. Panduan Pengendalian Tuberkulosis di Tempat Kerja. Jakarta: 2015

Editor: Melya Findi dan Adele Hutapea
Gambar: Amadeus Rembrandt