Tuberkulosis, atau yang sering kita dengar sebagai TBC, adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya bakteri ini menyerang paru-paru, namun infeksi bakteri TBC dapat menyerang organ tubuh lainnya, seperti otak, tulang, kelenjar getah bening, dan usus. Infeksi TBC yang menyebabkan penderitanya bergejala disebut TBC aktif atau sakit TBC. TBC aktif dapat muncul akibat infeksi TBC primer atau merupakan proses reaktivasi kembali dari infeksi TBC yang telah terjadi di masa lalu, kondisi ini dinamakan infeksi laten tuberkulosis (ILTB). 


Sumber gambar: https://www.myupchar.com/en/disease/tuberculosis-tb

Umumnya tanda dan gejala yang dirasakan oleh seseorang dengan TBC aktif adalah batuk berdahak, maupun gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan yang signifikan. Pada TBC aktif yang menyerang paru penderita umumnya memiliki gangguan saluran nafas seperti batuk berdahak, dimana pada kondisi yang lebih lanjut dapat disertai darah. Pada hasil pemeriksaan dahak pasien TBC paru dapat ditemukan bakteri TBC (Mycobacterium tuberculosis). Selain itu, pada pemeriksaan rontgen dada dapat terlihat kelainan struktur paru akibat proses peradangan oleh bakteri TBC. Beberapa hal ini: gejala TBC (batuk maupun gejala sistemik), hasil pemeriksaan dahak yang positif, dan foto rontgen dada yang mengarah ke gambaran TBC tidak ditemukan pada individu dengan ILTB. 

Tiga puluh lima persen infeksi TBC laten dunia berasal dari Asia Tenggara, salah satunya Indonesia (1). Sistem kekebalan tubuh merespon infeksi TBC melalui proses-proses imunologis untuk membunuh bakteri TBC yang masuk ke tubuh kita. Terkadang, sistem kekebalan tubuh tidak sepenuhnya berhasil dalam membunuh semua koloni bakteri ini. Hanya ~10% dari orang-orang yang terinfeksi TBC berhasil sepenuhnya memusnahkan koloni bakteri TBC di dalam tubuhnya. Selebihnya (~90%), hanya berhasil mengisolasi bakteri TBC dimana beberapa bakteri berhasil lolos dari respon kekebalan tubuh manusia dan masuk ke fase tidak bereplikasi (dorman atau laten) (2). Hal ini lah yang kemudian dinamakan sebagai ILTB. Koloni bakteri TBC yang ‘tidur’ ini suatu waktu akan dapat kembali ‘bangun’ dan berkembang menjadi TBC aktif ketika sistem kekebalan tubuh melemah, seperti pada infeksi HIV. 

Tidak seperti TBC aktif yang memiliki gejala dan didiagnosa secara bakteriologis maupun radiologis, ILTB tidak memiliki gejala dan diagnosanya ditegakkan melalui interpertasi hasil pemeriksaan uji tuberkulin (Mantoux). Pada populasi yang tidak diketahui risiko TBC-nya, indurasi sebesar lebih dari atau sama dengan 15 mm pada pemeriksaan Mantoux dianggap sebagai hasil positif. Pada populasi lainnya seperti imigran dan pengguna narkoba suntik, indurasi sebesar lebih dari atau sama dengan 10 mm dianggap sebagai hasil positif. Sedangkan pada kelompok imunokompremais seperti ODHIV dan pasien yang menjalani terapi imunosupresan, indurasi sebesar lebih dari atau sama dengan 5 mm saja sudah dianggap sebagai hasil yang positif (3). Pemeriksaan ILTB selain uji tuberkulin yang telah direkomendasikan oleh WHO adalah IGRA (Interferon-Gamma Release Assays) yang menggunakan sampel darah. Pemeriksaan ini lebih sensitif dari uji tuberkulin namun harganya lebih mahal (4).

Membedakan TBC aktif dan infeksi laten TBC dapat membantu dalam penanganan TBC di suatu wilayah. Selain memberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kepada penderita TBC aktif, infeksi laten TBC di kelompok populasi lainnya dapat dicegah berkembang menjadi TBC aktif dengan pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT). 

Referensi: 

  1. IMPAACT4TB, The Aurum Institute. Clinician Guideline 3HP-Rifapentine and Isoniazid Tuberculosis Prevention. Johannesburg, 2019. 
  2. Ahmad S. Pathogenesis, Immunology and Diagnosis of Latent Mycobacterium tuberculosis Infection. Clin Dev Immunol, 2011. doi:10.1155/2011/814943 
  3. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis. Jakarta, 2020. ISBN 978-602-416-957-2 
  4. WHO. Use of Alternative Interferon-Gamma Release Assays for the Diagnosis of TB Infection: WHO Policy Statement. Geneva, 2022. License: CC BY-NC-SA 3.0 IGO