Indonesia hingga saat ini masih memiliki persoalan terkait tembakau. Dengan 63% prevalensi perokok pria yang menyebabkan sekitar 235.000 kematian setiap tahun. Sejumlah bukti turut menunjukkan perokok berisiko lebih besar terkena COVID-19 yang lebih lanjut. Penyakit menular itu telah merenggut hampir 50,000 nyawa orang Indonesia per Mei 2021.

Dilansir dari theunion.org, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam webinar bertajuk “Our shared responsibility: Ending Epidemics – Smoking and COVID-19 in Indonesia” mengatakan bahwa perokok termasuk kelompok yang rentan terhadap penularan dan morbiditas COVID-19. Dan prevalensi merokok telah meningkat sebesar 1% selama pandemi ini. Selain itu, merokok juga merupakan faktor risiko Tuberkulosis (TBC) dan berbagai penyakit tidak menular (PTM) yang memiliki angka kematian tinggi di Indonesia.

Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 mentargetkan prevalensi merokok pada usia anak dan remaja turun dari 9,1 menjadi 8,7 pada tahun 2024. Dalam artikel tersebut, Budi Gunadi juga menyampaikan sejumlah strategi yang tengah diupayakan pemerintah dalam pengendalian tembakau, diantaranya adalah:

  1. Merevisi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 untuk mengakomodir regulasi pengendalian tembakau yang lebih ketat
  2. Melarang penjualan rokok batangan
  3. Mengatur rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan
  4. Melarang iklan tembakau secara online maupun melalui media luar ruangan
  5. Meningkatkan edukasi kepada masyarakat melalui media sosial
  6. Melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk percepatan Kawasan Bebas Merokok (SFA) di tingkat daerah
  7. Mendukung sebanyak mungkin kenaikan cukai rokok
  8. Memperkenalkan ketentuan konsultasi nasional untuk layanan berhenti merokok

Dalam strategi tersebut salah satu disebutkan adanya larangan iklan tembakau. Berdasarkan hasil Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019, sebanyak 56 persen pelajar melihat orang merokok di sekolah atau di luar sekolah dan 60,6 persen pelajar tidak dicegah ketika membeli rokok. Sehingga pelarangan iklan rokok harus dipertegas karena mempengaruhi perilaku merokok pada masyarakat, khususnya remaja. Dilansir dari kompas.com, disebutkan adanya data yang menunjukkan terpaan iklan rokok melalui media online memiliki kekuatan pengaruh signifikan terhadap sikap merokok pada remaja sebesar 31,8 persen. Berdasarkan hasil survei tersebut, maka pengendalian tembakau khususnya rokok perlu disikapi secara serius agar tidak semakin banyak anak usia remaja dan yang lebih muda lagi yang menjadi korban dari rokok.

Merokok memiliki banyak dampak negatif salah satunya adalah infeksi saluran pernapasan dan meningkatkan keparahan penyakit saluran pernapasan. Seperti disebutkan diawal, perokok memiliki risiko terkena COVID-19 2,25 kali lebih besar dibanding orang yang tidak merokok. Merokok dapat menurunkan fungsi paru sehingga tubuh lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang paru. Upaya menurunkan konsumsi rokok menjadi sangat penting untuk dapat mengurangi kerentanan seseorang terhadap infeksi TBC, COVID-19 maupun penyakit lainnya.

Karena merokok memiliki dampak negatif yang luas, maka kita perlu mendorong pemerintah dan semua elemen masyarakat untuk melakukan gerakan pengendalian tembakau. Sebagai contoh dengan mengembang inovasi pemanfaatan tembakau selain untuk produk rokok, serta pengalihan pemanfaatan produk tembakau agar tetap mendatangkan pendapatan bagi petani tembakau.

Sumber:

  1. https://nasional.kompas.com/read/2021/04/08/17101701/menko-pmk-dorong-pelarangan-total-iklan-rokok?page=all&utm_source=Google&utm_medium=Newstand&utm_campaign=partner
  2. https://theunion.org/news/indonesia%E2%80%99s-minister-of-health-says-tobacco-control-key-to-fighting-covid-19-non-communicable-diseases-and-tuberculosis-and-outlines-amendments-to-government-regulation-pp1092012-as-key-strategy

 

Editor: Melya, Wera Damianus
Gambar: Amadeus Rembrandt