Sebelum pandemi COVID-19, tuberkulosis telah menjadi penyebab utama kematian akibat penyakit menular di dunia. Dari data Global TB Report 2020, TBC telah menewaskan 1,4 juta orang di tahun 2019. Dalam data ini disebutkan bahwa laki-laki cenderung lebih banyak terkena TBC di hampir seluruh dunia.
Namun dari data tersebut, Afghanistan menunjukkan kondisi sebaliknya. TBC justru lebih banyak dialami oleh perempuan, yaitu sebanyak 54% ketimbang laki-laki.
Hal-hal yang menyebabkan perempuan di Afghanistan lebih rentan terinfeksi TBC
- Dilansir dari laman thenewhumanitarian.org, disebutkan bahwa ketidaksetaraan gender yang dalam bisa menjadi salah satu faktor utama, karena perempuan lebih cenderung terkurung di rumah dengan kondisi ventilasi buruk. Tuberkulosis merupakan penyakit yang sering dikaitkan dengan persoalan kemiskinan. Penyakit ini menyebar melalui udara melalui batuk, meludah, dan berbicara, dan menyebar lebih mudah di ruang yang sempit dan penuh sesak.
- Disisi lain, kecilnya kemungkinan bagi perempuan untuk mengakses layanan kesehatan. Kondisi perang yang berlarut-larut ditambah pandemi virus korona makin memperumit upaya untuk mengatasi TBC. Konflik yang berlangsung membuat sekitar 380.000 orang mengungsi tahun lalu, dan kondisi ini terlebih bagi perempuan membuat mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan.
- Karena kondisi sulitnya mengakses layanan membuat perempuan kemudian mengkonsumsi obat bebas yang kemudian berpotensi terjadinya resistansi.
- Stigma muncul ketika TBC menyerang perempuan. Ketidaksetaraan atau konflik gender membuat perempuan yang mengalami penyakit TBC mendapat perlakuan berbeda yang kemudian memunculkan stigma. Dalam artikel ini juga disebutkan bahwa TBC telah dikaitkan dengan rasa malu, rasa bersalah, isolasi, dan penolakan. Dalam salah satu dari dua bahasa resmi Afganistan, tuberkulosis diterjemahkan menjadi kata sil, yang memiliki konotasi yang sangat negatif dan dikaitkan dengan darah, batuk, dan penurunan berat badan. Stigma yang mengakar terkait dengan TBC membuat perempuan lebih cenderung menyembunyikan kondisinya karena takut akan isolasi sosial, dan melewatkan pengobatan yang tepat.
- Meski demikian, bagi mereka yang berhasil mengakses layanan kesehatan, diagnosis tuberkulosis hanyalah langkah pertama. Pengobatan tuberkulosis bisa berlangsung berbulan-bulan. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri terlebih bagi perempuan yang memerlukan izin keluarga untuk melakukan perjalanan ratusan kilometer melalui daerah konflik untuk mencapai pusat layanan kesehatan.
TBC menunjukkan bahwa penyakit ini tidak hanya identik dengan laki-laki, namun dalam kondisi tertentu perempuan juga rentan untuk lebih banyak mengembangkan TBC. Kondisi yang terjadi di Afghanistan tentu tidak menutup kemungkinan terjadi di wilayah lain kedepannya. Tentunya hal ini perlu di waspadai terlebih dalam upaya untuk mewujudkan eliminasi TBC kedepan. Peran dalam penentuan kebijakan, peran masyarakat untuk mengakhiri stigma, dan dukungan keluarga sangat penting.
8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Momen ini menjadi peringatan dalam memperjuangkan kesetaraan hak dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dan juga akses dalam kemudahan layanan kesehatan. Perempuan juga memiliki hak yang setara untuk dapat bebas dari stigma, stereotip, dan kekerasan dengan hak dan peluang yang sama.
Sumber:
https://www.unwomen.org/en/news/in-focus/international-womens-day
Editor: Melya, Triftianti Lieke
Gambar: Amadeus Rembrandt