Sebelum pandemi COVID-19, upaya penanggulangan tuberkulosis (TBC) oleh sejumlah negara cenderung stabil. Hal ini terlihat dari penurunan insiden sebesar 9% dan penurunan angka kematian sebesar 14% antara tahun 2015 sampai 2019. Termasuk juga adanya komitmen politik tingkat tinggi di tingkat global dan nasional. Di negara Indonesia sendiri, komitmen ini diwujudkan dengan penyelenggaraan acara Gerakan Maju Bersama Menuju Eliminasi Tuberkulosis (TBC) 2030 pada bulan Januari 2020 di Cimahi dan turut dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo serta sejumlah pemerintah daerah dari seluruh Indonesia.

Meski demikian, laporan terbaru dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa akses ke layanan TBC tetap menjadi tantangan, dan bahkan target global untuk pencegahan dan pengobatan kemungkinan besar akan terlewat tanpa tindakan lebih lanjut dan dukungan investasi. Dalam Global TB Report 2020, disebutkan sekitar 1,4 juta orang meninggal karena penyakit terkait TBC pada 2019. Dan dari perkiraan 10 juta orang yang diperkirakan terkena TBC, ada sekitar 3 juta orang tidak terdiagnosis, atau tidak dilaporkan secara resmi ke dalam sistem pelaporan nasional. Kondisi ini makin dipersulit dengan pasien TBC Resistan Obat, dimana sekitar 465.000 orang baru didiagnosis dengan TBC Resistan Obat pada tahun 2019 dan kurang dari 40% dapat mengakses pengobatan.

Dikutip dari rilis media WHO, persoalan ini muncul dikarenakan sejumlah kendala, diantaranya persoalan pendanaan. Pada tahun 2020, pendanaan untuk pencegahan, diagnosis, pengobatan dan perawatan TBC mencapai US$ 6,5 miliar. Angka ini hanya mewakili setengah dari target US $ 13 miliar yang disepakati oleh para pemimpin dunia dalam Deklarasi Politik PBB tentang TBC. Selain itu, persoalan akses yang adil terhadap diagnosis, pencegahan, pengobatan dan perawatan yang berkualitas dan tepat waktu juga masih menjadi tantangan.

Tantangan Pandemi COVID-19 dan Upaya Eliminasi TBC 2030

Upaya penanggulangan pandemi COVID-19 masih belum berakhir. Bahkan setiap harinya penambahan kasus baru masih terus terjadi. Tentunya kondisi ini berdampak pada gangguan dalam layanan yang menyebabkan kemunduran pada layanan TBC. Dikutip dari rilis media ini, disebutkan bahwa persoalan sumber daya manusia, keuangan, dan sumber daya lainnya telah dialokasikan untuk penanganan COVID-19. Bahkan sistem pengumpulan dan pelaporan data juga terkena dampak negatif.

Menurut Global TB Report 2020 terbaru ini, dari sejumlah data yang dikumpulkan dari lebih 200 negara, menunjukkan penurunan yang signifikan dalam notifikasi kasus TBC. Dimana terjadi penurunan 25-30% antara bulan Januari dan Juni 2020 dibandingkan dengan periode yang yang sama pada tahun 2019 di 3 negara dengan beban tinggi, termasuk Indonesia yang merupakan salah satu dari negara dengan beban TBC tertinggi di dunia. Penurunan dalam notifikasi kasus ini dapat menyebabkan peningkatan dramatis dalam kematian TBC tambahan, menurut model WHO.

Dari laporan tersebut, untuk Indonesia di tahun 2019 diperkirakan terdapat total kasus TBC mencapai 845,000 kasus, dan hanya 67% yang melakukan pengobatan. Dari jumlah kasus tersebut, diperkirakan 24,000 kasus merupakan kasus pasien TBC Resistan Obat (TBC RO) dengan tingkat mulai pengobatan (enrollment rate) sebesar 48% (5,531pasien) dari 11,463 yang terkonfirmasi TBC RO. Angka ini tentunya masih di bawah target pengobatan, yaitu sebesar 90%. Laporan ini masih jauh dari target capaian yang diharapkan untuk bisa menuju eliminasi TBC 2030 mendatang.

Dr Tereza Kaseva, Direktur Program TB Global WHO mengatakan bahwa dalam menghadapi pandemi, peran negara, masyarakat sipil, dan mitra lainnya tetap harus bekerja sama untuk memastikan layanan untuk TBC dan COVID-19 tetap berlangsung guna memperkuat sistem kesehatan, memastikan kesehatan untuk semua, dan menyelamatkan nyawa.

Sejalan dengan pedoman WHO, berbagai negara, termasuk Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak COVID-19 pada layanan penting TBC, termasuk dengan memperkuat pengendalian infeksi. Sebanyak 108 negara - termasuk 21 negara dengan beban TBC yang tinggi - telah memperluas penggunaan teknologi digital untuk memberikan dukungan pengobatan jarak jauh. Terkait upaya ini Yayasan KNCV Indonesia (YKI) dengan dukungan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengembangkan produk digital kesehatan, yaitu EMPATI untuk memperkuat sistem pendampingan pasien Tuberkulosis Resistan Obat (TBC RO) oleh komunitas. Upaya ini untuk mengurangi kebutuhan kunjungan pasien ke fasilitas kesehatan.

Meskipun Tuberkulosis (TBC) sebagai penyakit menular paling mematikan di dunia, namun TBC dapat dicegah dan disembuhkan. Sekitar 85% orang yang memiliki penyakit TBC dapat berhasil diobati dengan rejimen obat selama 6 bulan. Kedisiplinan pengobatan, dukungan dan komitmen pemerintah tetap menjadi poin penting untuk melawan tuberkulosis.

  

Sumber:
Press Release. Global TB Report 2020. https://reliefweb.int/report/world/global-tuberculosis-report-2020

Editor: Melya, Rerin Alfredo S
Gambar: Amadeus Rembrandt