Dering notifikasi handphone seakan tidak pernah berhenti dari aktivitas Listya Dewi (46) di rumah saat ini. Pasalnya selama masa pembatasan sosial ini, intensitas pendampingan pasien secara fisik harus dikurangi. Ia pun tetap mendampingi pasien melalui komunikasi dengan saluran whatsapp. Sebagai kader kesehatan masyarakat Menteng Atas, Setiabudi, ia dikenal aktif mendampingi masyarakat yang membutuhkan informasi tentang layanan kesehatan, seperti pengurusan BPJS, serta bagaimana mekanisme mengakses layanan kesehatan.

“Lewat whatsapp saya biasanya memantau bagaimana apakah dia sudah minum obat, mengingatkan pasien untuk saatnya mengambil obat ke Puskesmas, juga rutin membagikan informasi edukasi melalui grup whatsapp,” ujar Dewi.

Selama masa PSBB, segala aktivitas yang biasa ia lakukan sebagai kader pendamping TBC harus terhenti. Dewi yang aktif di kegiatan kesehatan masyarakat semenjak 5 tahun kebelakang ini berharap situasi dapat segera normal dan aktivitas dapat kembali seperti semula. Ia mengkhawatirkan apabila dari situasi ini, akan berdampak pada putusnya pengobatan pasien TBC. Ia pun menceritakan salah satu pasien yang ia dampingi, sejak awal pasien ini sangat rajin minum obat, hanya saja terhenti saat stok obatnya habis.

“Jadi bapak ini dia malas untuk mengambil obat ke Puskesmas terlebih saat COVID ini, dan selain itu saat cek dahak yang kedua, dinyatakan hasilnya negatif, jadi dia berpikir bahwa dia sudah sembuh, sementara masa pengobatannya belum genap enam bulan,” terang Dewi.

Karena hal ini, dia tetap mendatangi pasien ke rumahnya dan memberikan pemahaman bahwa pasien harus menyelesaikan masa pengobatan selama enam bulan. Tidak mudah awalnya meyakinkan pasien tersebut, hingga dia harus beberapa kali mendatangi rumahnya untuk memastikan si pasien tetap melanjutkan pengobatan. Dewi menuturkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum tahu tentang bagaimana bahaya dan pentingnya pengobatan TBC hingga tuntas. Ditambah di situasi saat ini, meski akses layanan tetap berjalan namun pembatasan sosial membuat ruang geraknya dalam mendampingi pasien pun terbatas.

Dewi juga bercerita, beberapa hari ini sekitar akhir bulan Mei, ia mendapat info salah seorang warga yang sakit. Tanpa pikir panjang ia langsung mendatangi untuk mendampingi warga tersebut berobat, tentunya dengan tetap memahami protokol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah. Melihat kondisi warga tersebut, Dewi langsung membawanya ke Puskesmas untuk mendapat penanganan dan diketahui bahwa ia menghidap TBC. Ibu berumur 52 tahun ini tidak memiliki sanak keluarga yang mendampingi, sehingga Dewi merasa perlu mendampinginya agar ia bisa sembuh, ditambah adanya komplikasi diabetes yang juga menjadi salah satu faktor risiko bagi pasien TBC.

“Biasa setiap pagi saya datangi rumahnya, saya ajak berjemur, minum obat, dan memastikan ia makan makanan yang bergizi,” terang Dewi menceritakan bagaimana ia mendampingi ibu tersebut di tengah pandemi.

Kendala lain yang kerap ia hadapi adalah ketidakjujuran pasien untuk menginformasikan kondisinya. Meski demikian Dewi dapat mengetahui mana pasien yang jujur dan tidak. Hal ini karena ia memiliki data lengkap setiap pasien yang didampingi, mulai dari awal pengobatan hingga prosesnya selama minum obat serta kapan obat dari pasien habis. Selain itu juga koordinasi dengan Puskesmas yang terus terjaga membuat monitoring setiap pasien berjalan dengan baik. Meski demikian, ia berharap dukungan keluarga tetap menjadi motivasi pendorong utama agar pasien mau berobat hingga tuntas.

Untuk edukasi warga, ia masih tetap melakukan selain melalui grup whatsappserta toa Masjid untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Bagaimanapun juga, Dewi merasa bahwa pemerintah sudah sangat memberikan dukungan, layanan kesehatan juga sudah maksimal, terlebih obat gratis yang disediakan sangat membantu penanggulangan TBC, sehingga ia merasa perannya untuk membantu dalam mengedukasi masyarakat harus terus berjalan.

Memasuki era kenormalan baru ini, Dewi merasa pola perilaku hidup bersih dan sehat menjadi salah satu hal penting untuk diterapkan sehari-hari, seperti selalu menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun, mandi seusai melakukan pendampingan dan kunjungan pasien, serta tetap menjaga jarak. Ia tetap optimis, target eliminasi TBC 2030 tetap akan tercapai, yang terpenting adalah pemahaman masyarakat untuk memahami bahaya TBC dan bersama-sama memutus rantai penularannya.


Teks: Melya Findi

Editor: Aditya Bagus

Gambar: Amadeus Rembrandt