Paska menurunnya sejumlah kasus COVID-19 di beberapa negara, pemerintah mulai secara perlahan membuka kebijakan karantina. Masyarakat dapat mulai beraktivitas kembali secara normal dengan tentunya tetap mematuhi sejumlah protokol kesehatan yang dianjurkan. Kondisi ini tidak hanya menunjuk tidak dapat dielakkan. 

Emisi karbon dioksida (CO2) diperkirakan akan kembali meningkat paska pemerintah memberhentikan kebijakan karantina. Di kutip dari lama the guardian, disebutkan emisi CO2 sempat turun seperempatnya ketika diberlakukan karantinan di sejumlah negara. Bahkan pada awal April 2020, emisi CO2 harian global turun sebesar 17% dibandingkan dengan angka rata-rata tahun 2019. Sementara dalam periode waktu 1 Januari hingga 11 Juni tahun ini, emisi CO2 berada pada kisaran 8,6%, dimana angka ini lebih rendah dari periode waktu yang sama di tahun 2019.

Peningkatan kadar emisi CO2 dikarenakan mulai aktifnya aktivitas masyarakat, terutama karena kebanyakan orang akan menggunakan kendaraan pribadi dikarenakan ketakutan menggunakan kendaraan umum dalam situasi pandemi. Di Jakarta sendiri, sejak pemerintah memulai transisi menuju tatanan normal baru sejak 8 Juni 2020, jalan raya dan tol mulai dipenuhi kendaraan oleh masyarakat yang sudah memulai aktivitas bekerja di kantor. Adalah sebuah ironi ketika kebijakan penghentian PSBB ini tidak dibarengi inisiatif mengantisipasi dampak kesehatan sehubungan dengan meningkatnya polusi udara. Pasalnya polusi udara juga turut berkontribusi pada pada menurunnya kesehatan masyarakat.

Di lansir dari laman Media Indonesia, Dokter Spesialis Paru Rumah Sakit Universitas Indonesia, Gatut Priyonugroho mengatakan bahwa dampak polusi udara bisa dirasakan dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Untuk jangka pendek dapat berdampak pada bronkitis, meningkatnya produksi dahak, dan batuk-batuk. Sementara untuk jangka panjang, polusi udara dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga kuman mudah menyerang. Hal ini yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan tuberkulosis (TBC). Peningkatan polusi udara mempengaruhi fungsi paru-paru dengan berbagai cara seperti menurunkan kemampuan kerja makrofag, menyebabkan radang saluran udara, mengiritasi bronkial, mengurangi pembersihan mukosiliar, meningkatkan reaktivitas, dan meningkatkan kerentanan terhadap patogen.

Polusi udara menjadi salah satu faktor risiko bagi sebagian besar penyakit pernapasan, dimana TBC merupakan salah satunya. Meski sejumlah program pengendalian TBC telah diterapkan namun faktor risiko juga perlu dilakukan pengendalian. Sebagai salah satu negara dengan tingkat polusi tertinggi di dunia, Indonesia perlu menerapkan sejumlah kebijakan pengendalian pengurangan emisi, serta pengendalian rokok. Hal ini dapat berkontribusi terhadap pengendalian TBC di Indonesia yang juga merupakan negara dengan beban TBC tertinggi  ke-3 di dunia.

  

Sumber:

  1. https://www.theguardian.com/environment/2020/jun/11/carbon-emissions-in-surprisingly-rapid-surge-post-lockdown?utm_source=Global+Health+NOW+Main+List&utm_campaign=273bbfc8ed-EMAIL_CAMPAIGN_2020_06_11_01_50&utm_medium=email&utm_term=0_8d0d062dbd-273bbfc8ed-3075813
  2. Smith, Genee S.,et.al. 2016.  Air Pollution and Pulmonary Tuberculosis: A Nested Case-control Study among Members of a Northern California Health Plan. University of North Carolina, Department of Epidemiology. Vol.124 No.6. diakses pada tanggal 15 Juni 2020.
  3. https://mediaindonesia.com/read/detail/253026-dampak-polusi-paru-paru-menua-lebih-awal
  4. A, Pattanaik; Das; LB, Sukla. 2019. Effect of Air Pollutants on Increased Risk of Pulmonary Tuberculosis; A Review. Journal of Bacteriology and Mycology. Austin Publishing Group. Diakses pada tanggal 15 Juni 2020.

 

Editor: Melya Findi, Alva Juan
Gambar: Amadeus Rembrandt