Novel coronavirus-19 (nCoV-19) atau severe acute respiratory syndrom coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merupakan virus penyebab penyakit corona virus atau Covid-19 yang baru ditemukan di tahun 2019. Terkait dengan tuberkulosis, banyak yang ingin mengetahui hubungan antara COVID-19 dengan penyakit tuberkulosis yang secara historis sudah ditemukan sejak 1882 dan menjadi salah satu penyakit infeksi penyebab utama kematian hingga saat ini. Meskipun kedua penyakit ini sama-sama menyerang saluran pernafasan, namun tentunya ada sejumlah perbedaan antara keduanya.
Berikut adalah perbandingan Tuberkulosis dan Covid-19:
1. Penularan
- Tuberkulosis menular melalui udara dan percikan dahak,
- Covid-19 hanya melalui percikan dahak.
2. Diagnosis
- Tuberkulosis perlu dilakukan tes dahak untuk mereka yang batuk, dan sampel lain tergantung gejala yang ditimbulkan
- Covid-19 perlu dilakukan swab hidung dan/atau tes dahak untuk diagnosisnya.
3. Patogen
- Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex
- Covid-19 disebabkan oleh Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
4. Infektivitas (Dinilai dari Reproductive number)
- Tuberkulosis : 1 pasien TBC dapat menularkan ke 1 – 4 individu lainnya (<1 pada negara dengan insidens TB rendah, 4 pada negara berkembang dengan insidens kasus TB yang tinggi)
- Covid-19, dalam data awal diindikasikan dengan 1 pasien COVID-19 dapat menularkan ke 2,2 individu lainnya.
5. Pencegahan
- Pengobatan tuberkulosis dapat dilakukan dengan pengobatan pencegahan TBC untuk mereka yang kontak dengan pasien TBC aktif dan menjaga sirkulasi udara yang baik
- Pengobatan Covid-19 dengan menjaga jarak dengan orang lain saat berada di tempat umum, memastikan sirkulasi udara yang baik, dan mencuci tangan dengan sabun selama 20 detik.
6. Pengobatan
- Tuberkulosis, saat ini sudah ada obat yang dapat membantu pasien untuk sembuh, yaitu dengan 4 macam OAT selama 6 bulan untuk TB Sensitif Obat, dan OAT selama 9-24 bulan untuk TBC Resistan Obat.
- Covid-19, hingga saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan karena masih dalam tahap pengembangan uji coba obat.
7. Vaksinasi
- Vaksinasi untuk tuberkulosis dapat dilakukan dengan vaksin BCG yang memiliki efek proteksi, khususnya pada anak
- Belum ada vaksin untuk Covid-19. Covid-19 masih mengandalkan sistem kekebalan tubuh seseorang untuk proses penyembuhannya.
Penyakit tuberkulosis lebih berisiko terjadi pada mereka yang memiliki penyakit penyerta seperti HIV, diabetes, serta perokok dan juga dipengaruhi oleh faktor usia (balita dan lansia). Individu yang memiliki faktor risiko dengan TBC aktif akan cenderung memiliki TB berat hasil akhir yang buruk (kemungkinan dapat menyebabkan kematian). Sementara untuk Covid-19, belum ada bukti yang menunjukkan penyakit penyerta memiliki risiko bagi pasien terinfeksi Covid-19 secara lebih serius, meski sejumlah pasien dengan usia lanjut dan penyakit penyerta seperti jantung koroner, diabetes, dan hipertensi memiliki risiko untuk terdampak lebih serius.
Dari sejumlah kasus ditemukan, individu dengan penyakit pernafasan kronis (seperti TBC) yang terinfeksi COVID-19 akan meningkatkan kemungkinan kondisi penyakit yang lebih buruk.
Keterkaitan antara TBC dan Covid-19 seringkali memunculkan banyak pertanyaan mengenai bagaimana Covid-19 memiliki dampak pada pasien tuberkulosis. Berikut adalah rangkuman yang dihimpun dari The Union.
Apakah Covid-19 lebih mematikan dibanding penyakit TBC?
TBC menjadi penyebab kematian sekitar 1,5 juta di tahun 2018, dengan 250.000 diantaranya adalah mereka dengan HIV positif. Meski jumlah kematian akibat Covid-19 meningkat setiap harinya, namun tingkat kematian belum dapat dipastikan, mengingat belum diketahui secara pasti jumlah kasus yang sebenarnya (banyak kasus yang tidak terlaporkan dan orang dengan gejala ringan dan sedang tidak diperiksa).
Dari beberapa laporan didapatkan sstimasi tingkat kematian COVID-19 berkisar antara 1.5 sampai 20%.Sementara TBC yang tidak diobati memiliki angka kematian rata-rata sebesar 45%. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara teknis TBC lebih mematikan ketimbang Covid-19, meskipun tetap harus dipertimbangkan adanya faktor risiko penyerta (usia, HIV, tingkat imunitas, dll). Meski demikian koinfeksi TBC dan Covid-19 masih dalam tahap pembahasan, meski adanya kemungkinan keberadaan kedua penyakit ini dapat saling memicu gejala alamiah masing-masing penyakit dan memperburuk kondisi pasien.
Bagaimana panduan bagi pasien TBC yang tengah menjalani pengobatan TBC dan mereka terinfeksi Covid-19?
Hingga saat ini belum ada pengobatan yang direkomendasikan untuk mengatasi Covid-19, pengobatan yang diberikan saat ini sesuai dengan gejala yang dialami pasien. Saat ini, banyak uji coba pengobatan yang sedang dikembangkan terkait COVID-19. Bagi pasien TBC tetap dapat melanjutkan pengobatan TBC karena belum ada bukti yang menunjukkan bahwa OAT dapat meningkatkan risiko Covid-19.Untuk pasien TBC yang terinfeksi COVID-19, perlu menginformasikan kepada petugas layanan kesehatan bahwa saat ini tengah menjalani pengobatan TBC, sehingga petugas kesehatan dapat memastikan tidak ada interaksi obat antara Obat TB yang sedang dikonsumsi dengan obat-obatan yang akan diberikan
Bagaimana layanan TBC merespon kondisi selama pandemic Covid-19?
Ada pedoman mengenai manajemen TBC dalam kondisi emergensi yang dapat digunakan untuk membantu dalam perencanaan dan memastikan layanan TBC tetap beroperasi ditengah pandemi Covid-19. Layanan TBC di bawah program TBC nasional harus tetap memberikan layanan, baik akses diagnosis, pengobatan, serta layanan dukungan bagi pasien TBC.
Apakah perlu menggunakan masker?
Masker memiliki fungsi sebagai penghalang bagi penyebaran virus dan bakteri, terlebih apabila ini digunakan oleh mereka yang memiliki gejala. Masker juga sudah digunakan dalam pencegahan dan pengendalian infkesi TBC selama ini untuk mengurangi risiko penyebarannya pada lingkungan sekitar. Meski demikian untuk Covid-19, WHO merekomendasikan masker digunakan oleh mereka yang bergejala. Namun, belajar dari kasus di Cina penggunaan masker pada mereka yang sehat juga efektif untuk membantu mengurangi penyebaran Covid-19.
Apakah pasien TBC perlu menstok persedian OAT?
Secara tidak langsung pandemi Covid-19 juga berpengaruh pada kondisi pasokan OAT secara global. Sehingga negara-negara dengan beban TBC yang tinggi harus memiliki sistem manajemen pengadaan dan persediaan untuk memastikan pasokan OAT yang memadai dan pemesanan obat secara tepat waktu untuk menghindari kehabisan stok. Agen pengadaan internasional, seperti Stop Global Partnership TB Drug Drug Facility, telah bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan rantai pasokan obat TBC tidak terpengaruh.
Alternatif apa untuk memastikan orang yang dalam pengobatan TBC dapat terus mendapat dukungan dan pengawasan terkait layanan DOTs yang dibatasi karena kebijakan untuk menjaga jarak secara psikis dan kebijakan karantina secara nasional?
Menjaga jarak fisik dengan orang lain menjadi salah satu alternatif yang dianjurkan oleh pemerintah saat ini untuk memperlambat atau bahkan menhentikan penyebaran Covid-19. Sehingga banyak kegiatan yang bersifat masal perlu dibatalkan untuk mengurangi penyebaran penyakit. Sehingga untuk layanan TBC, terkait dengan pemantauan menelan obat tetap dapat dilakukan dengan pemanfaatan platform digital seperti pengawasan menelan obat melalui sarana video atau fasilitas teknologi pendukung lainnya.
Bagaimana cara memastikan bahwa informasi yang saya baca mengenai cara-cara pencegahan terhadap Covid-19 adalah benar?
SARS-CoV-2 terbilang masih sangat baru, dan banyak uji coba tengah dilakukan untuk mempelajari hal ini. Edukasi informasi tentang upaya pencegahan telah banyak dilakukan untuk dapat melindungi individu dari paparan infeksi Covid-19. Tentunya memilah sumber informasi untuk mendapatkan informasi yang kredibel penting dilakukan. Beberapa sumber informasi yang dapat dijadikan referensi antara lain situs badan kesehatan dunia yang memberikan info perkembangan kasus setiap harinya, serta situs Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, atau situs resmi lainnya milik pemerintah terkait COVID.
Apa yang bisa saya lakukan untuk mengurangi stigma terkait COVID-19 dan penyakit menular lainnya?
Belajar dari pengalaman penanganan TBC tentang dampak stigma pada orang yang berisiko penyakit salah satunya penggunaan terminologi kata. Pemberian nama Covid-19 sendiri juga tidak merujuk pada nama wilayah tertentu, sebagaimana pemberian nama virus semebulnya, yaitu MERS, SARS, dan Spanish Flu. Stigma dapat menjadi salah satu hambatan kuat untuk upaya pencegahan, pengobatan dan perawatan bagi mereka yang terdampak. Penyebutan istilah orang dengan Covid-19 atau orang yang menunjukkan gelaja Covid-19 cenderung lebih menghormati orang tersebut ketimbang penggunaan istilah korban Covid-19 atau kasus yang dicurigai. Bahasa yang digunakan membentuk pemahaman kita tentang situasi, serta menghindari kecenderungan menyalahkan orang lain atau mengucilkan seseorang yang mungkin menderita penyakit.
Meski Covid-19 menjadi prioritas kesehatan di hampir seluruh dunia, pelayanan bagi pasien TBC harus tetap berlanjut guna mencapai target eliminasi TBC pada 2030. Hal ini juga sesuai dengan target pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG). Komitmen yang kuat antara pemangku kebijakan, tenaga layanan kesehatan, mitra layanan, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendukung hal tersebut.
Sumber: https://www.theunion.org/news-centre/covid-19/covid-tb-faqs
Editor: Melya Findi dan Angelin Yuvensia
Gambar: Amadeus Rembrand