WHO mengumumkan bahwa virus Corona sebagai pandemik per tanggal 11 Maret 2020. Tentunya hal ini memiliki dampak luas tidak hanya pada upaya penanganan virus yang terbilang baru ini, namun juga pada layanan kesehatan lainnya, termasuk juga bagi tuberkulosis. Seperti kita ketahui, tuberkulosis juga merupakan penyakit infeksi yang membutuhkan penanganan serius. Madhukar Pai, Director of the McGill International Tuberculosis Centre dalam tulisannya mengatakan bahwa sebelum virus yang bernama COVID-19 ini muncul, TBC telah menjadi penyakit yang membunuh 4,000 orang setiap hari, dan 1,5 juta orang setiap tahun. Bahkan TBC adalah pembunuh utama orang yang hidup dengan HIV/AIDS.
Badan kesehatan dunia dalam global TB report tahun 2019 menyatakan bahwa Cina adalah negara dengan beban TBC nomor dua di dunia. Terkait COVID-19 kita tahu, COVID-19 muncul pertama kali di negara ini dengan beban penderita mencapai hampir 90,000 kasus. Lantas bagaimana dampaknya pada penanganan TBC di Cina?
Sejak diberlakukan karantina dan pembatasan bagi warga untuk bepergian, pasien TBC tidak dapat pergi keluar untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Bahkan bagi sejumlah daerah dengan beban COVID-19 yang berat, berdampak pada sistem rumah sakit karena lonjakan jumlah pasien. Tentunya skala prioritas penanganan pasien dengan COVID-19 akan lebih diutamakan, bahkan dalam artikel disebutkan tes laboratorium untuk diagnosis TBC juga terkendala.
Di Korea Selatan, sejak kasus COVID-19 meningkat hingga lebih dari 8,000 kasus, perawatan bagi pasien TBC menjadi terkendala. Bagi pasien TB-MDR biasanya memerlukan perawatan untuk rawat inap selama dua minggu, namun hal ini tidak dapat terakomodir sejak layanan medis menjadikan COVID-19 sebagai prioritas.
Lain halnya dengan negara lain yang memiliki persoalan dengan isu kemiskinan, malnutrisi, serta HIV, yang tentunya kondisi ini menjadi lebih kompleks. Terhambatnya layanan TBC bagi masyarakat, dengan tertundanya dilakukan uji diagnosis TBC berpotensi terjadi peningkatan kasus TBC yang tidak tertangani, serta penularan yang tinggi. Dan bahkan penderita TBC merupakan populasi yang berisiko tinggi terinfeksi COVID-19. Dalam tulisannya Madhukar Pai juga menceriterakan kasus yang dialami Deepti Chavan, advokat TBC di India, yang sembuh dari XDR-TB. Ia kini harus diisolasi bukan karena kasus TBC yang pernah diderita, namun karena COVID-19. Dan dalam kasusnya, dia termasuk populasi rentan dimana ia hanya memiliki satu paru-paru akibat XDR-TB yang ia derita sebelumnya. Meski belum ada sumber yang menyebutkan hal ini, namun COVID-19 juga menyerang organ paru, maka kerusakan paru-paru diperkirakan dapat membuat pasien TBC lebih rentan terhadap COVID-19.
10 Upaya Mitigasi Bagi Layanan TBC
Berikut adalah rangkuman dari 10 upaya mitigasi bagi layanan TBC, di tengah pandemik COVID-19 yang sedang terjadi di hampir seluruh dunia:
- Membuat inventarisasi semua jalur yang memungkinkan penanganan COVID-19 dapat berdampak pada layanan TBC sehingga dapat diantisipasi
- Pasien TBC memiliki kecenderungan memiliki komorbiditas atau kondisi tertentu yang meningkatkan kerentanan, seperti kekurangan gizi, HIV, silikosis, diabetes, tuna wisma dan perokok. COVID-19 masih terbilang baru, sehingga belum ada sumber yang menyatakan bahwa ia dapat berdampak pada kelompok rentan ini, namun kondisi ini tetap harus diantisipasi.
- Potensi pengalihan petugas layanan kesehatan untuk penanganan COVID-19 akan berdampak pada pelayanan pasien TBC. Perlu dilakukan penyelidikan kontak TBC dan terapi preventif. Hal ini dapat dimaksimalkan dengan bantuan tenaga volunter yang dilatih untuk dapat diperbantukan.
- Meminimalisir alokasi dana TBC untuk COVID-19, mengingat TBC juga memerlukan prioritas penanganan yang sama.
- COVID-19 berdampak pada pasokan obat, serta produk kesehatan lainnya, seperti terbatasnya jumlah masker N95 yang sangat diperlukan oleh petugas layanan kesehatan dalam mendampingi pasien TBC. Oleh sebab itu, distribusi obat TBC serta produk kesehatan lainnya tetap harus dioptimalkan
- Perlunya tambahan petugas kesehatan untuk dapat melakukan tes laboratorium diagnostik bagi layanan TBC serta dukungan fasilitas uji laboratorium milik swasta atau universitas.
- Pandemi COVID-19 dapat mengakibatkan gangguan pembayaran (contoh: pembayaran tunai) serta dampak sosial bagi pasien TBC yang berakibat pada penurunan tingkat penyelesaian pengobatan. Situasi ini menjadi peluang penerapan metode pembayaran elektronik dan sistem artificial intelligence lainnya.
- COVID-19 sudah berdampak pada semua kegiatan penelitian, dan konferensi ilmiah. Semua acara TBC untuk Hari TBC Sedunia dibatalkan. Sehingga pemanfaatan teknologi menjadi potensi besar yang dapat dikembangkan untuk mengatasi terhambatnya pertemuan fisik. Selain itu uji coba obat-obatan TBC, diagnostik dan vaksin yang telah dikembangkan terhambat untuk dapat disosialisasikan mengingat kondisi saat ini. WHO dalam hal ini dapat memanfaatkan berbagai mitra yang fokus pada penanganan TBC untuk mendukung dalam upaya pengenalan inovasi baru layanan TBC ini.
- COVID-19 bisa berdampak pada temuan kasus TBC terutama bagi negara-negara dengan beban tinggi. Oleh sebab itu, program TBC dapat melibatkan volunter serta peneliti yang bekerja di TBC, untuk melakukan survei terkait upaya temuan kasus serta pencatatan dalam sistem nasional.
- Advokasi tentang pentingnya dana penelitian dan pengembangan inovasi untuk TBC, sehingga upaya pengembangan uji coba vaksin COVID-19 diharapkan tidak memiliki dampak dalam hal ini.
Sepuluh upaya mitigasi ini menjadi langkah untuk dapat mengurangi tantangan serius dari pandemik COVID-19, terutama bagi negara dengan beban TBC yang tinggi seperti Indonesia. 10 upaya ini bertujuan untuk tetap memastikan pengobatan dan layanan TBC tetap berjalan di tengah merebaknya COVID-19 di hampir seluruh dunia, termasuk dalam upaya pengendalian infeksi, diagnosis, pelacakan kontak, dan isolasi pasien TBC.
Editor: Melya Findi dan Angelin Yuvensia
Gambar: Amadeus Rembrandt